AL BAQARAH
(SAPI BETINA)
SURAT KE: 2
TERDIRI DARI: 286 ayat
( terjemah ayat 186-190 )
186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Keterangan:
Ayat ini turun berkenaan dengan datangnya seorang Arab Badui kepada Nabi SAW yang bertanya: "Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami dapat munajat/memohon kepada-Nya, atau jauh, sehingga kami harus menyeru-Nya?" Nabi SAW terdiam, hingga turunlah ayat ini (S. 2: 186) sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduwaih, Abussyaikh dan lain-lainnya dari beberapa jalan, dari Jarir bin Abdul Hamid, dari Abdah as-Sajastani, dari as-Shalt bin Hakim bin Mu'awiyah bin Jaidah, dari bapaknya yang bersumber dari datuknya.)
Menurut riwayat lain, ayat ini (S. 2: 186) turun sebagai jawaban terhadap beberapa shahabat yang bertanya kepada Nabi SAW: "Dimanakah Tuhan kita?"
(Diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaq dari Hasan, tetapi ada sumber-sumber lain yang memperkuatnya. Hadits ini mursal.)
Menurut riwayat lain, ayat ini (S. 2: 186) turun berkenaan dengan sabda Rasulullah SAW: "Janganlah kalian berkecil hati dalam berdoa, karena Allah SWT telah berfirman "Ud'uni astajib lakum" yang artinya berdoalah kamu kepada-Ku, pasti aku mengijabahnya) (S. 40. 60). Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan mendengar doa kita atau bagaimana?" Sebagai jawabannya, turunlah ayat ini (S. 2: 186). (Diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir yang bersumber dari Ali.)
Menurut riwayat lain, setelah turun ayat "Waqala rabbukum ud'uni astajib lakum" yang artinya berdoalah kamu kepada-Ku, pasti aku mengijabahnya (S. 40: 60), para shahabat tidak mengetahui bilamana yang tepat untuk berdoa. Maka turunlah ayat ini (S. 2: 186). (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari 'Atha bin abi Rabah.)
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
Keterangan:
[115]. I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
Mengenai turunnya ayat ini terdapat beberapa peristiwa diantaranya para shahabat Nabi SAW menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi SAW untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat "Uhilla lakum lailatashshiamir rafatsu sampai atimmush shiyama ilal lail" (S. 2: 187)
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dari Abdurrahman bin Abi Laila, yang bersumber dari Mu'adz bin Jabal. Hadits ini masyhur, artinya hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih kepada tiga orang atau lebih dan seterusnya. Walaupun ia tidak mendengar langsung dari Mu'adz bin Jabal, tapi mempunyai sumber lain yang memperkuatnya.)
188. Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
Keterangan:
Ayat ini turun berkenaan dengan Imriil Qais bin 'Abis dan 'Abdan bin Asyma' al-Hadlrami yang bertengkar dala soal tanah. Imriil Qais berusaha untuk mendapatkan tanah itu menjadi miliknya dengan bersumpah di depan Hakim. Ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan jalan bathil.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa'id bin Jubair.)
189. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
[116]. Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., maka diturunkanlah ayat ini;
"Yas alunaka 'anil ahillah sampai linnasi walhajji" diturunkan sebagai jawaban terhadap banyaknya pertanyaan kepada Rasulullah SAW tentang peredaran bulan.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari al-Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Menurut riwayat lain orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW: "Untuk apa diciptakan bulan sabit?" Maka turun ayat tersebut di atas sebagai penjelasan.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abil 'Aliah.)
Menurut riwayat lain "Yas alunaka 'anil ahillah sampai linnasi walhajji" ini berkenaan dengan pertanyaan Mu'adz bin Jabal dan Tsa'labah bin Ghunamah kepada Rasulullah SAW. "Ya Rasulullah! Mengapa bulan sabit itu mulai timbul kecil sehalus benang, kemudian bertambah besar hingga bundar dan kembali seperti semula, tiada tetap bentuknya?" Sebagai jawabannya turunlah ayat ini.
(Diriwayatkan oleh Abu Na'im dan Ibnu 'Asakir di dalam tarikh Dimasyqa, dari as-Suddi as-Shaghir, dari al-Kalbi dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
"Walaisal birru bi anta'tul buyuta min dhuhuriha" sampai akhir ayat, diturunkan berkenaan dengan kebiasaan orang jahiliyyah sepulangnya menunaikan ihram di Baitullah memasuki rumahnya dari pintu belakang.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari al-Barra.)
Menurut riwayat lain, orang-orang Quraisy yang diberi jukukan al-Hams (Ksatria) menganggap baik apabila melakukan ihram masuk dan keluar melalu pintunya, akan tetapi kaum Anshar dan orang-orang Arab lainnya masuk dan keluar tidak melalui pintunya. Pada suatu hari orang-orang melihat Quthbah bin Amir (dari kaum Anshar) keluar melalui pintu mengikuti Rasulullah SAW. Serempaklah mereka mengadu atas pelanggaran tersebut, sehingga Rasulullah SAW segera menegurnya. Quthbah menjawab: "Saya hanya mengikuti apa yang tuan lakukan." Rasulullah SAW bersabda: "Aku ini seorang Ksatria." Quthbah menjawab: "Saya pun penganut agama tuan." Maka turunlah "Walaisal birru bi anta'tul buyuta sampai akhir ayat."
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan al-Hakim yang bersumber dari Jabir. Menurut al-Hakim, hadits ini shahih. Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Menurut riwayat lain, ayat ini turun berkenaan dengan kaum Anshar yang apabila pulang dari perjalanan, tidak masuk rumah melalui pintunya.
(Diriwayatkan oleh at-Thayalisi yang bersumber dari al-Barra.)
Menurut riwayat lain peristiwanya sebagai berikut. Orang-orang pada waktu itu apabila hendak berihram di baitullah tidak masuk melalui pintunya, kecuali golongan ksatria (al-Hams). Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk dan keluar halaman Baitullah melalui pintunya diikuti oleh rifa'ah bin Tabut, padahal dia bukan ksatria. Maka mengadulah orang-orang yang melihatnya: "Wahai Rasulullah, Rifa'ah melanggar." Rasulullah SAW bersabda kepada Rifa'ah: "Mengapa kamu berbuat demikian?" Ia berkata: "Saya mengikuti tuan." Nabi bersabda: "Aku ini Ksatria." Ia menjawab: "Agama kita satu," Maka turunlah "Walaisal birru bi anta'tul buyuta sampai akhir ayat."
(Diriwayatkan oleh 'abdu bin Hamid yang bersumber dari Qais bin Habtar an-Nahsyali.)
190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Keterangan:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan "perdamaian di Hudaibiah", yaitu ketika Rasulullah SAW dicegat oleh kaum Quraisy untuk memasuki Baitullah. Adapun isi perdamaian tersebut antara lain agar kaum Muslimin menunaikan umrahnya pada tahun berikutnya. Ketika Rasulullah SAW beserta shahabatnya memeprsiapkan diri untuk melaksanakan umrah tersebut sesuai dengan perjanjian, para shahabat khawatir kalau-kalau orang-orang Quraisy tidak menepati janjinya, bahkan memerangi dan menghalangi mereka masuk di Masjidil Haram, padahal kaum Muslimin enggan berperang pada bulan haram. Turunnya "Waqatilu fi sabilillahil ladzina (S. 2: 190) sampai (S. 2: 193)" membenarkan berperang untuk membalas serangan musuh.
(Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas.)